BECAUSE IN MY HEART CHAPTER 1
BECAUSE IN MY HEART
Chapter : 1/6
.
.
Duk!
Seorang gadis bermata amethyst hanya bisa meringis nyeri saat lutut dan dengkulnya menghantam keramik putih yang dipijaknya keras. Ia berusaha duduk dan mendongak menatap beberapa pasang mata yang menatapnya sinis. Terlihat ketakutan dengan mata berkaca-kaca karena lagi-lagi ia harus dibully.
Astaga!
Kali ini apa lagi kesalahan yang ia lakukan?
Hinata kembali menunduk saat ada sepasang kaki yang berjalan menghampirinya dan menginjak jari-jari mungilnya. Membuat ia meringis kesakitan lalu memohon ampun pada sang pangeran Konoha yang begitu amat membencinya.
Sakit sekali!
"Gomenasai, tolong lepaskan tanganku, sakit…" rintih Hinata kesakitan. Tapi seolah tuli, pemuda jangkung yang tengah menatapnya dengan sorot meremehkan itu hanya mendengus. Sama sekali tidak berniat mengangkat kakinya, sama sekali tidak ada niat untuk berbelas kasih. Ia terlanjur muak, yah… bahkan bisa dibilang jijik.
"Kau… menjijikan!" pemuda itu meludahi puncak kepala Hinata. Membuat gadis itu hanya bisa menelan ludah sakit sambil menahan isak tangisnya. Membiarkan air matanya menetes deras menyusuri kedua pipi putihnya. Hinata memejamkan mata berusaha menetralisir rasa sakit di tubuhnya, rasa sakit yang lebih dominan ia rasakan di hatinya.
Sakit!
Hatinya jauh lebih sakit. Diperlakukan tidak layak hanya karena mencintai seseorang yang tidak sepantasnya ia cintai. Mengagumi sosok orang yang menjadi pangeran dengan segala kesempurnaan. Tapi ia bisa apa memangnya? Bukan ia yang meminta.
Dan Hinata semakin muak pada dirinya sendiri yang tetap tidak bisa berhenti mencintai orang itu. Orang yang selalu menyakitinya, manusia nomor satu di Konoha High School International karena kekuasaan yang dimilikinya. Yang memerintahkan semua murid di kelasnya membully Hinata sesuka hati mereka.
Kejam!
Kenapa pemuda itu benar-benar kejam?
"Na-Naruto-kun…" lirih Hinata serak. Seolah hanya kata itu yang bisa menembus kerongkongannya karena begitu tersiksa oleh sikap pemuda di depannya. Hinata terus menangis sesenggukan memohon agar Naruto mau melepaskannya.
"Kau!" Naruto membungkukan sedikit tubuhnya lalu menjambak rambut Hinata kasar. Membuat gadis itu meringis dan mendongak paksa. Mata lavendernya bertemu dengan sapphire milik seseorang yang sejak dulu amat dipujanya. "Kenapa selalu saja membuat ulah?"
"Apa maksudmu, Naruto-kun?" Tanya Hinata tidak mengerti. Sama sekali tidak memberikan perlawanan sekali pun sudah diperlakukan dengan amat kasar. "Aku tidak mengerti."
"Kau terpilih ikut olimpiade MiPa. Menjadi rekanku, brengsek!" Naruto menoyor kepala Hinata kasar. Membuat gadis lemah itu lagi-lagi terjerembab di lantai. "Sebaiknya kau mundur. Aku tidak sudi harus bekerja sama dengan makhluk menjijikkan sepertimu."
"Yah! Kau memang tidak layak menjadi pendamping Naruto-kun, jelek. Tak tahu diri!" cibir seorang gadis berambut pirang dikuncir. Poni rambutnya menutupi salah satu mata biru cantiknya. Ia menatap Hinata hina lalu mendengus kesal. Jijik sekali pada gadis tidak tahu diri itu, bagaimana mungkin ia lancang memiliki perasaan khusus pada pangeran Konoha?
"Lagipula ada Sasuke-kun yang bisa menjadi rekan Naruto-kun. Kenapa Kakashi-sensei harus memilihmu?" sahut gadis dengan model rambut cepol tak kalah memberi argument. Ia tidak mengerti kenapa Kakashi lebih memilih Hinata daripada Sasuke yang sudah jelas-jelas menjadi murid paling jenius di Konoha?
"Sasuke sudah menjadi perwakilan olimpiade bahasa inggris tahun ini bersamaku, Ten-ten." Sakura menyela, ia menatap gadis yang tengah dikeroyok di depan whiteboard itu iba lalu menoleh pada si pemuda pirang yang memunggunginya. Kenapa dia jadi mendadak jahat sekali? Setahu Sakura dulu Naruto memang menyebalkan, tapi tidak pernah kasar pada perempuan.
"Hentikan Naruto. singkirkan kakimu, kau menyakitinya, dia perem-"
"Jangan ikut campur Sakura." Sasuke memotong kalimat sahabat kecilnya itu. Matanya tetap tidak beralih dari buku bacaannya. Sasuke masih terlihat santai duduk bersandar ke dinding. Tidak memedulikan Sakura yang duduk di depannya.
"Tapi Naruto sudah keterlaluan, Sasuke." Sakura tidak terima. Tidak habis pikir juga kenapa Sasuke seolah tidak peduli pada Naruto yang semakin lama semakin jahat pada Hinata?
"Sasuke benar, kau jangan ikut campur Sakura…" Naruto mendesis sinis. Sama sekali tidak mau membalik badan walau hanya untuk melihat si gadis bersurai pink sebahu itu. Ia sedang sangat kesal saat ini.
"Kau pasti akan menyesal karena kelakuan jahatmu ini, Naruto!" Sakura akhirnya hanya bisa menghela napas berat lalu berdiri, keluar dari kelas karena malas berurusan dengan dua sahabatnya lagi. Benar-benar tidak habis pikir kenapa ia harus memiliki dua sahabat aneh?
Naruto yang semakin lama semakin sadis dan cepat emosi. Dan Sasuke yang seolah tidak pernah peduli dengan semua hal yang ada di sekitarnya.
Astaga!
"Tuhan pasti sedang menguji kesabaranku…" Sakura hanya bisa mengurut dada memikirkan nasib buruknya karena dikelilingi oleh sekumpulan manusia aneh.
.
.
"Aku akan mengatakan pada Kakashi-sensei aku keberatan menjadi perwakilan sekolah, Naruto-kun. Jadi kumohon lepaskan tanganku…" pinta Hinata lirih. wajahnya sudah memerah menahan sakit, ia benar-benar kesakitan. Naruto sangat sukses melukai fisik dan psikisnya.
"Kapan?" Naruto semakin memperkuat injakkan kakinya.
"Aw… sek-sekarang jug-gah…" Hinata menunduk dalam, matanya menatap tangan kanannya yang membiru. Sepertinya untuk beberapa hari ke depan akan bengkak dan membuatnya kesulitan menulis. Ya Tuhan, bagaimana caranya ia bisa mempertahankan beasiswanya?
"Kupegang janjimu!" Naruto mengangkat kakinya lalu mendengus, membalikkan tubuhnya dan keluar dari kelas. Semua kerumunan yang tengah mengelilingi Hinata di depan kelas kini ikut bubar. Meninggalkan gadis bersurai panjang biru gelap itu memeluk tangannya yang bengkak sambil menangis terisak.
Memejamkan mata seolah menikmati setiap sentuhan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Menikmati setiap perlakuan kasar Naruto yang mampu mencabik tulang sumsumnya namun tetap tidak mengurangi sedikit pun perasaannya pada si pirang.
Cinta…
Ketulusan cinta Hinata lah yang selama ini mampu membuatnya tetap bertahan. Ia masih bisa tetap bersekolah seperti biasanya sekalipun setiap hari menerima perlakuan kasar dan hinaan dari teman-teman satu kelasnya. Ia juga sudah sangat terbiasa diperlakukan layaknya sampah tak berharga di luar kelas.
Tapi, cinta butanya selalu saja membuatnya kuat.
Setidaknya walaupun dibenci…
Setiap hari aku masih bisa melihat Naruto-kun.
"Dia akan menyesal!" kata suara ngebass yang cukup familiar di telinga Hinata tiba-tiba. Saat ini di kelas memang hanya tinggal mereka berdua. Hinata berdiri dan menatap Sasuke yang sama sekali tidak balas menatapnya dengan sorot bertanya.
"Sa-Sasuke-kun…"
"Dia akan menyesal. Dan suatu saat, semuanya akan berbanding terbalik. Bertahanlah!" Sasuke menjelaskan namun tetap ambigu. Membuat Hinata mengernyit aneh lalu menyeka air matanya. Kembali duduk di bangkunya tapi sebelumnya ia sempat tersenyum ramah.
"Arigatou sudah menghiburku, Sasuke-kun."
.
Naysaruchikyuu
.
.
Esok harinya… Hinata tidak masuk sekolah. Ia yang memang hanya salah satu penghuni panti asuhan Konoha tampak tidak banyak yang menghiraukannya keabsenannya. Kelas justru terlihat hening karena salah satu objek mainan mereka hari ini menghilang tanpa kabar.
Naruto yang duduk dua bangku dari sebrang meja Hinata menatap bangku kosong gadis itu sambil mengernyit. Tidak biasanya Hinata bolos. Apa dia sakit?
Tapi kemudian ia menggidikkan bahunya tak peduli.
Hinata mati?
Itulah yang dia harapkan. Agar tidak perlu lagi bertemu dengan sosoknya yang di matanya amat sangat menyebalkan.
.
.
Pulang sekolah, Naruto dengan ogah-ogahan mengantar adik bungsunya pergi ke salah satu panti asuhan. Namikaze Kyuubi, bocah pria yang baru berusia 12 tahun itu memiliki sikap yang berbanding terbalik dengan Naruto. Kyuubi jauh lebih ramah dan dermawan. Bergaul dengan siapa pun tanpa melihat kasta. Ia bahkan justru lebih memiliki banyak teman yang berasal dari keluarga biasa.
Statusnya sebagai seorang Namikaze tidak membuat Kyuubi besar kepala seperti kakaknya. Kyuubi justru lebih senang memiliki teman dari panti asuhan karena bisa bermain tanpa aturan layaknya orang-orang kalangan atas.
Naruto sangat menyayangi Kyuubi, hal itulah yang membuat Naruto selalu rela jadi supir dadakan sang adik yang memang belum boleh menyetir. Siang ini ia mengantar Kyuubi ke sebuah panti asuhan asri yang berada di pinggiran Konoha. Tidak terlalu jauh dengan letak sekolahnya.
"Kenapa kau mau bermain dengan sekumpulan manusia bau, Kyuu?" Tanya Naruto tak mengerti. Mendelik pada Namikaze muda yang lebih muda 4 tahun darinya.
"Mereka tidak bau, Naru-nii. Mereka lebih rajin mandi darimu mungkin." Kyuubi mencibir. Segera keluar dari mobil sport merah Naruto lalu berlari masuk ke sebuah rumah yang cukup luas namun dengan model biasa. Naruto menghela napas lalu segera ikut turun, mengeluarkan dua kantong plastik besar dari bagasi mobilnya yang tidak sempat dikeluarkan Kyuubi. Merepotkan sekali.
.
Naruto berjalan-jalan menyusuri koridor panti, diakuinya walaupun sederhana tapi tempat itu cukup asri. Dipenuhi berbagai jenis pohon buah di halaman dengan rumput yang tertata rapi. Yang sangat disayangkan dari tempat ini adalah terlalu banyak anak-anak. Membuat kepalanya berdengung sakit karena teriakan cempreng mereka yang memekakan telinga.
Huh! Itulah kenapa Naruto benci anak-anak. Berisik!
Eh?
Mendadak langkah Naruto terhenti, ia memicingkan matanya saat melihat seseorang yang tengah menunduk berjalan berlawanan arah dengannya. Jarak mereka masih cukup jauh, tapi Naruto sudah cukup mengenal siluet tubuh gadis itu.
Rambut panjangnya yang biasa dikepang kini tampak digerai dan sedikit basah. Mungkin gadis itu baru selesai keramas. Kacamatanya tetap bertahan di hidungnya, gadis itu memakai sehelai kaos usang berwarna biru dengan bawahan rok kuno yang panjangnya setengah betis.
"Dia…" Naruto menggeram. Gadis yang baru mendongak dan menyadari kehadiran Naruto tampak mematung shock saat melihat sosok pirang itu menatapnya bengis, "Bakteri…"
"Na-Naruto-kun…" kata Hinata lirih.
Tebese....
Comments
Post a Comment